Bandar Lampung — Lampung Literature menutup rangkaian panjang program Menulisi Lampung: Novela Berbasis Sejarah dan Budaya Lampung dengan kegiatan Perjamuan Prosa, yang digelar di Klasika Books n Coffee pada 28 Oktober 2025. kegiatan ini didukung oleh Badan Bahasa Kemendikdasmen RI dalam program Penguatan Komunitas Sastra.
Acara ini menjadi puncak dari perjalanan kreatif selama hampir tiga bulan—dimulai dari sayembara penulis, residensi selama tiga hari, penulisan intensif selama empat puluh hari, hingga lahir delapan karya novela yang menggali sejarah, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat Lampung.
Dalam sambutannya, Iskandar, Ketua Lampung Literature, menjelaskan bahwa program Menulisi Lampung merupakan upaya sistematis membangun ekosistem sastra yang berakar pada kebudayaan lokal.
“Program ini dimulai dari proses seleksi melalui sayembara, lalu 8 peserta terpilih menjalani workshop dan residensi selama lima hari. Setelah itu, mereka menulis novela selama empat puluh hari penuh dengan pendampingan para fasilitator. Hari ini, kita merayakan puncaknya melalui Perjamuan Prosa. kedelapan novela kami terbitkan dalam bentuk e-book,” ujarnya.
Narasumber Arman AZ—prosais dan pemerhati sejarah Lampung—mengangkat isu kelangkaan penulis prosa di daerah ini.
“Lampung memiliki banyak penyair, tapi sangat sedikit prosais yang masuk ke gelanggang sastra nasional, apalagi yang menulis tentang sejarah dan budaya lokal. Padahal, lewat prosa, budaya bukan hanya dilestarikan, tapi kita refleksikan dan maknai ulang,” ujarnya.
Arman juga menelusuri akar sejarah penulisan tentang Lampung sejak masa kolonial.
“Sejak abad ke-18, penulis Belanda sudah menulis kisah tentang Lampung, terutama soal lada—komoditas yang membuat tanah ini dikenal di dunia. lalu ada satu-dua penulis di era pra dan pasca kemerdekaan. Tapi setelah itu, hampir tak ada penulis lokal yang menulis Lampung dari sudut pandangnya sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, karya-karya dalam Menulisi Lampung menjadi momentum penting untuk merebut kembali narasi tentang Lampung.
“Delapan novela ini membuktikan bahwa Lampung bisa berbicara tentang dirinya sendiri, dengan suara, rasa, dan ingatan yang lahir dari tanahnya,” tegas Arman.
Sementara itu, Ari Pahala Hutabarat, budayawan dan sastrawan, memaparkan bahwa sastra seharusnya tidak berhenti pada romantisasi budaya lokal semata.
“Arah pandang kita harus keluar. Kita jangan selalu mengelus-ngelus budaya sebagai barang antik yang ‘dilestarikan’. Kita justru harus membawa budaya kita ke kancah nasional, bahkan global,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa para penulis besar dunia selalu berangkat dari akar budaya mereka sendiri—dan kemudian menjadikannya universal.
“Para penulis dunia, dari Márquez hingga Pramoedya, menulis dari tanah dan ingatan mereka sendiri. Yang lokal dibuat global. Melalui prosa, hal itu dimungkinkan. Karena itu, lahirnya delapan novela ini sangat membahagiakan; ia menandai keberanian baru untuk menulis Lampung dari dalam, namun dengan pandangan yang jauh dan strategis,” jelas Ari.
Lebih jauh, Ari menjelaskan bahwa novela merupakan genre sastra yang memiliki potensi besar di era kini.
“Novela bukan sekadar tulisan yang lebih panjang dari cerpen atau lebih pendek dari novel. Ia punya ciri khas tersendiri. Novela mampu merangkum kompleksitas yang tinggi dan mendalam, tetapi dengan jumlah halaman yang lebih ramping. Format seperti ini sangat relevan bagi pembaca muda masa kini yang hidup dalam ritme cepat dan serba instan,” paparnya.
Dalam Perjamuan Prosa ini, Lampung Literature memperkenalkan delapan novela hasil program:
Kereta Radin Bungsu – Aisyah, Rumah Tua di Tepi Repong Damar – Triamiyati, Cepala – Hazizi, Pulau Daging – Naomi Ambar Wulan, Hujung Langit – Mada Elliana, Di Batas 40 – Minarno, Kayu Hujan – Novian Pratama, Nisan Luka – Selsa Alfira
Editor Yulizar Lubay menggambarkan kedelapan novela ini sebagai “delapan pintu untuk membaca ulang Lampung dari berbagai lanskap geografis dan emosional.”
“Setiap penulis menghadirkan tafsir berbeda: dari legenda purba, adat, hingga tragedi sejarah seperti Talangsari. Keseluruhannya membentuk peta budaya Lampung yang kaya dan kompleks,” ujarnya.
Acara dibuka dan ditutup dengan penampilan musikalisasi puisi. Dalam sesi tanya jawab, para hadirin turut menanggapi.
Salah satu peserta, Agus, seorang akademisi, menyoroti rendahnya tingkat literasi mahasiswa saat ini. Menurutnya, daya kritis dan kemampuan memahami bacaan cenderung menurun di tengah banjir informasi digital.
Menanggapi hal itu, Ari Pahala Hutabarat mengamini fenomena tersebut, namun menyorot akar persoalan yang lebih dalam.
“Masalah kita bukan hanya rendahnya tingkat baca, tapi rendahnya tingkat memahami bacaan. Tak ada gunanya membawa satu buku sehari kalau tak ada satu pun yang diserap sebagai ilmu atau memantik produksi pemikiran baru,” ujarnya.
Ari menambahkan bahwa secara historis, masyarakat Indonesia lebih terbentuk oleh budaya lisan ketimbang tulisan.
“Berbeda dengan bangsa Barat yang telah lama melalui era tulisan. Kita masih kuat dalam tradisi lisan, lalu tiba-tiba diberondong oleh era digital yang serba audio-visual—maka selesailah,” katanya.
Ia juga menyinggung pengaruh kondisi geografis dan iklim terhadap lahirnya tradisi berpikir.
“Di Rusia, musim salju panjang membuat orang lebih banyak di dalam ruang—mereka menulis, berpikir, dan menciptakan tradisi intelektual. Sementara kita hidup di iklim tropis yang stabil, yang memungkinkan orang lebih banyak berinteraksi sosial di luar ruang. Akibatnya, produksi pemikiran tertulis menjadi lebih sedikit. Ini bukan alasan, tapi konteks yang perlu kita pahami,” pungkasnya.
Diskusi semakin hangat ketika Anton, seorang guru sekaligus jurnalis, turut menyampaikan pandangannya. Ia melihat krisis budaya yang kian nyata dari semakin jarangnya penggunaan bahasa Lampung di kalangan masyarakat.
“Ini bencana,” ujarnya tegas. “Kalau bahasa ibu tidak lagi digunakan, maka hilanglah sebagian dari cara kita memahami dunia. Kita perlu langkah sinergis—antara lembaga pendidikan, komunitas, dan pemerintah—untuk menanggulanginya.”
Menanggapi hal itu, Ari Pahala Hutabarat mengakui bahwa problem tersebut memang nyata dan jarang disadari.
“Sampai hari ini belum ada gerakan signifikan untuk menanggulangi krisis bahasa daerah, Pemerintah tampak abai, tapi yang lebih menyedihkan, masyarakatnya pun demikian,” katanya.
Ia juga menyinggung kurangnya keterlibatan para akademisi dan aktivis kebudayaan.
“Bulan lalu kami menyelenggarakan kegiatan tentang revitalisasi bahasa Lampung, tapi tak satu pun guru atau akademisi bahasa Lampung—di luar narasumber—yang hadir memberi dukungan. Begitu pula para aktivis kebudayaan, banyak yang memilih diam. Ini ironi yang menyedihkan,” tuturnya.(yaya)








Tidak ada komentar:
Posting Komentar