Suasana di Gedung Bundar Kejaksaan Agung RI, Jakarta, terlihat lebih sibuk dari biasanya dalam beberapa hari terakhir. Bukan tanpa alasan. Dua nama besar dari korporasi raksasa gula nasional, PT Sugar Group Companies (SGC), yakni Purwanti Lee atau lebih dikenal sebagai Nyonya Lee dan Gunawan Yusuf, dipanggil untuk menjalani pemeriksaan lanjutan oleh tim penyidik Kejagung RI, Rabu (23/7/2025).
Ini bukan pemanggilan biasa. Nama-nama tersebut selama ini identik dengan kekuasaan ekonomi yang menggurita, menguasai ribuan hektare lahan tebu di Lampung dan sekitarnya. Kini, keduanya berada di bawah sorotan hukum atas dugaan keterlibatan dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan suap terhadap mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, menyebutkan bahwa ada sejumlah orang yang diperiksa dalam perkara tersebut. Yakni dua di antaranya pemilik PT SGC Purwanti Lee Couhault dan Gunawan Yusuf.
“Terkait pengembangan perkara TPPU-nya Zarof, memang ada pemeriksaan hari ini, penyidikan. Di antaranya mungkin ada di situ,” ungkap Anang kepada wartawan di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (23/7/2025).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna memberikan keterangan dihadapan wartawan.
Bahkan Anang Supriatna mengungkap keduanya diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi. Sedangkan perihal apa yang didalami dari keduanya, Anang masih irit bicara.
“Hari ini ada pemeriksaan, baru itu aja,” tegasnya singkat.
Termasuk perihal penyidikan tentang dugaan suap PT SGC terhadap Zarof Ricar yang sempat mencuat dalam persidangan di PN Tipikor beberapa waktu lalu.
“Sampai saat ini yang saya tahu hanya ada proses penyidikan dalam perkara yang sedang dilakukan saat ini. Perkara yang lainnya saya belum tahu,” ulasnya lagi.
Dari Perkara Perdata ke Jerat Pidana
Awalnya, sengketa antara SGC dan perusahaan asal Jepang, Marubeni Corporation, hanya dianggap sebagai perselisihan bisnis. Marubeni menggugat SGC atas utang triliunan rupiah pasca akuisisi saham. Namun, dugaan rekayasa putusan pengadilan dalam perkara ini mengubah arah angin. Nama Gunawan Yusuf, sosok yang disebut mengendalikan SGC melalui perusahaan-perusahaan cangkang, muncul sebagai tokoh sentral.
Kejaksaan menduga adanya upaya menyuap hakim untuk memenangkan SGC dalam persidangan. Total aliran dana mencurigakan yang sedang ditelusuri disebut mencapai Rp 50 miliar hingga Rp 70 miliar, termasuk emas batangan dan transaksi offshore yang belum sepenuhnya terbuka ke publik.
Kronologi Pemeriksaan
23–24 April 2025: Kejagung pertama kali memeriksa Nyonya Lee dan Gunawan Yusuf secara maraton.
Juli 2025: Pemeriksaan lanjutan digelar. Surat pencekalan ke luar negeri diterbitkan.
Pekan ini: Satu dari dua tokoh utama kembali dipanggil sebagai saksi dalam kasus TPPU Zarof Ricar. Meski masih berstatus saksi, publik menaruh harapan akan adanya peningkatan status hukum.
Sumber di internal kejaksaan menyebut, penyidik telah menyita sejumlah dokumen keuangan dan komunikasi digital sebagai bagian dari alat bukti, termasuk jejak transaksi antarperusahaan yang ditengarai untuk menyamarkan sumber dana.
Dukungan dan Tekanan Publik
Desakan agar kasus ini dibuka terang benderang terus datang, termasuk dari aktivis anti-korupsi dan organisasi masyarakat sipil. Mereka menyoroti dugaan adanya “perlindungan istimewa” terhadap kedua figur tersebut karena relasi ekonomi-politik yang kuat.
“Kami mendesak Kejagung segera menetapkan status hukum yang jelas bagi dua elite SGC. Ini bukan hanya soal korupsi, tapi tentang keadilan dan supremasi hukum,” ujar Ketua DPP Akar Lampung, Indra Mustain dalam konferensi pers di Bandar Lampung.
SGC, HGU dan Luka Lama Masyarakat
Kasus ini memantik kembali luka lama warga Lampung. Sejak 1990-an, SGC dituding memperluas lahan melalui izin Hak Guna Usaha (HGU) yang bermasalah. Bahkan menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung, luas HGU SGC tercatat mencapai sekitar 84.000 hektare, tersebar di Tulang Bawang dan Lampung Tengah.
Banyak warga adat dan petani kecil mengaku kehilangan akses ke lahan karena tumpang tindih izin dan konflik yang belum pernah benar-benar diselesaikan.
“Kami selalu kalah karena yang kami lawan punya uang dan kekuasaan,” kata Herman (bukan nama sebenarnya), warga Register 45 Mesuji, dalam sebuah wawancara.
Menanti Akhir Episode
Kini publik hanya bisa menunggu: akankah Kejaksaan Agung bertindak tegas terhadap dua nama besar ini? Ataukah, seperti kekhawatiran sebagian kalangan, kasus ini akan menguap begitu saja?
Yang jelas, ujian besar tengah dihadapi lembaga penegak hukum. Di satu sisi, ada komitmen memberantas korupsi kelas kakap. Di sisi lain, ada realitas: uang, kekuasaan, dan jejaring yang tak mudah ditembus.
Harapan publik kini bergantung pada keberanian institusi hukum dalam melawan gurita korporasi. Semoga tidak mengecewakan. (Net/ndi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar